A.Pendahuluan
1.Riwayat tentang Edward said
Edward Said adalah seorang filsuf yang menjadi perintis studi poskolonialisme.[1] Edward Said adalah seorang keturunan Palestina yang dilahirkan pada tahun 1935. Ia dibesarkan di Kairo, Mesir, di mana ia mendapat pendidikan gaya Inggris. Pada masa kemudian, ia mengecap pendidikan di Universitas Princeton dan Universitas Harvard. Karya Said yang paling terkenal adalah "Orietalisme". Di dalam buku ini, Said, dengan meminjam pendekatan Foucault, membongkar cara pandang dunia Barat atas dunia Timur selama ini yang selalu dalam upaya penguasaan dan penindasan. Penguasaan dunia Barat terhadap dunia Timur terlihat dari cara pandang yang menganggap Timur sebagai "yang lain", baik itu karena bahasa, budaya, tradisi, dan segala hal yang berkaitan dengan dunia Timur. Kemudian tidak berhenti sampai situ, dunia Barat menganggap "lainnya" Timur sebagai sesuatu yang bermutu lebih rendah, sehingga perlu dijadikan sama dengan Barat yang "lebih maju".
Pemikiran Edward Said.
B.pemikiran Edward said tentang orientalisme
Edward Said adalah penulis yang produktif, Ia dikenal sebagai ahli sastra bandingan (comparative literature) di Colombia University. Sebagian besar buku-bukunya berkaitan dengan masalah Timur Tengah, semisal Orientalisme (1978), The Question of Palestine (1979), Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1981), The Politics of Dispossession (1994), dan Peace and Its Discontents: Essays on Palestine in the Middle East Peace Process (1995). Sedang buku-buku Said lainnya adalah The World, the Text, and the Critic (1983), Nationalisme, Colonialisme, and Literature: Yeats and Decolonization (1988), Musical Elaborations (1991), dan Culture and Imperialisme (1993). Baru beberapa bukunya yang telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia Pada 1984, sekitar 6 tahun sejak kemunculan Orientalisme, penerbit Pustaka di Bandung meluncurkan versi Indonesia dari buku tersebut, hasil terjemahan Asep Hikmat. Hingga kini, buku terjemahan itu telah beberapa kali dicetak ulang. Buku-buku karya Said yang telah diIndonesiakan antara lain Kebudayaan dan Kekuasaan (Mizan, 1995), Covering Islam (Jendela, 2002) dan Out of Place (Jendela, 2002). Ada juga versi Indonesia dari kumpulan ceramah Said di Radio BBC yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (1998) berjudul Peran Intelektual.
(Orientalisme berasal dari kata orient dan oriental sebagai penjelasan tentang Timur. Secara etimologi, berarti “matahari terbit”. Kemudian masuk dalam kosa kata politik melalui orientalisme, yakni sebuah kajian tentang sejarah, sastra dan seni di Eropa yang dipelopori oleh Edward Said. Ia berpendapat bahwa penjajah Eropa memandang Timur sebagai ‘yang lain,’ dalam menjelaskan dirinya. Orientalisme kemudian menjadi ideologi yang menjadikan Barat sebagai pusat dalam relasinya dengan Timur. Hal ini dilakukan untuk menciptakan mitosnya sendiri guna mengesahkan pendudukan negara-negara yang disebut ‘oriental.’ Menurut Said, hal ini berlangsung dengan terciptanya kesepakatan tentang yang ‘lain,’ yakni negara-negara oriental, yang tidak hanya meliputi dunia Barat tetapi juga para pemimpin negara-negara tersebut. Pendidikan, sastra dan seni Barat menjadi dominan karena dominasi ekonomi dan politik oleh negara-negara imperialis. Kekuasaan kemudian berkelindan dalam bahasan utama wacana orientalis yang meneguhkan konsensus terpenting dalam mempertahankan dominasi. Said menjabarkan wacana orientalis bukanlah tentang masa lalu. Ia memperkaya kosa kata politik yang kita gunakan saat ini dalam pengertian kita tentang negara dunia Ketiga).
Pada Abad ke-18 Eropa mulai masuk menembus perekonomian dan politik. Sejalan dengan itu pula, negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda dan Perancis saling berebut tanah kekuasaan di negara-negara yang berpenduduk Islam. Seperti India, dan sebelah selatan timur Asia, termasuk Indonesia. Abad ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya dalam membentuk kebudayaan Barat. Orientalis menkaji hampir semua disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, historis, dan teks politik. Secara umum, orientalis telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan budaya dan peradaban Barat. Kolonialisme dan imperialisme di Indonesia adalah fakta sejarah sekian puluh tahun lalu yang tak bisa dibantah. Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya. Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis adalah sebagian dari negeri penjajah itu. Mereka menjarah dan menguasai. Tak salah jika tujuan penguasaan barat ke timur disimbolkan pertama dengan gold, selain gospel dan glory.
Kebijakan politik etis: edukasi, irigasi, dan transmigrasi, sebetulnya adalah sebentuk hegemoni yang diluncurkan kolonial Belanda untuk meredam bangsa pribumi. Politik etis dirancang agar tingkah laku inlander sesuai dengan apa yang dikehendaki. Selanjutnya, kolonialisme berganti menjadi orientalisme. Tepatnya, orientalisme adalah bentuk halus dari penguasaan gaya baru di jaman yang lebih maju. Edward W Said dalam magnus opus-nya, Orientalisme, menjelaskan tentang bagaimana barat mengatur kehidupan timur dengan melacak akar historis, etnografis, antropologis, bahasa, adat istiadat dan lain-lain, kemudian memberi stereotype terhadapnya.[2] Buku ini secara nyata menunjukkan bahwa Timur yang dikaji adalah hasil dari imajinasi geografis dari Barat sebagai objek pengkaji. Said menyebutnya sebagai Orientalis. dalam konteks keindonesiaan kita menyebutnya sebagai “ketimuran”.
Penguasaan kolonial Belanda dalam Sejarah Indonesia dicatat selama 350 tahun, hal ini membuktikan bahwa masa lalu Indonesia sebenarnya terletak di Belanda. Dengan teliti dan tekun, Belanda melalui para orientalis dan lembaga lembaga kajian timur secara intensif mengupas dan mempelajari aspek-aspek nusantata. Dalam hal ini Said, menemukan adanya hubungan antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme, dengan kekuasaan kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme ini seperti gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat, budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme. Bahkan Nyoman Kuta Ratna dalam buku Poskolonialisme[3] Indonesia relevansi sastra menyebutkan 'orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme atau imperialisme itu sendiri'. Kata Said 'orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan, antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior'.[4] Konstruksi itulah yang masih tersisa dari proses pengulang-ulangan pengetahuan tentang 'inferioritas' timur oleh orientalisme dalam bentuk mental Inlander. Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti mengerahkan alam pikir negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi yang dikoloni. Mereka memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, gaya hidup, dan secara jangka pajang membangun nalar pribumi.
Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori pengetahuan barat yang ternyata tidak pernah netral, namun memuat struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan data-data ilmiah. Mungkin Said ingin berpesan bahwa sudah saatnya dunia (kususnya dunia yang dikatakan timur, dunia ketiga atau negara berkembang) membuka mata akan kepalsuan metodologis barat. Dibanding terlalu memuja barat, akan lebih baik meletakkannya dalam persoalan yang lebih kritis.
Dengan dekonstruksi, postkolonialisme menjadi kritik atas “kerangka pikiran” Barat yang mapan, superiorior, maju, beradab terhadap dunia non-Barat yang terbelakang sehingga mesti diarahkan, dicerahkan, diterjemahkan menurut standar “humanisme Barat”. Upaya pem-barat-an ini dilakukan secara lembut, dari kurikulum pendidikan di sekolah hingga narasi ekonomi-politik-globalisasi internasional oleh imperialisme. Eksploitasi intelektual dan mental “Dunia Ketiga” diarahakan dengan sistematis oleh “Dunia Pertama”. Misalnya dengan mengontrol buku teks, majalah, surat kabar, televisi, dan media lainnya. Media Barat mencuci otak negara bekas jajahan. Bagaimana MTv dan pop culture lainnya dengan mudahnya masuk dan melakukan penetrasi ke dalam relung-relung kesadaran anak muda di negara Dunia Ketiga.
Contoh kasus dalam masyarakat Indonesia yaitu hiburan di berbagai media elektronik Indonesia, beberapa tahun terakhir ini berkembang keistimewaan kepada wajah Indo atau campuran. Para artis yang punya wajah indo menjadi idola publik di dunia entertainment. Ini menunjukkan bahwa mentalitas kolonial masih melekat dalam wacana budaya Indonesia. Selain itu, akhir-akhir ini juga berkembang keistimewaan penguasaan bahasa Inggris ketimbang bahasa lokal ataupun bahasa Indonesia. Kondisi ini pun tidak jauh berbeda dengan zaman kolonial Belanda, di mana bahasa Belanda lebih istimewa dan menunjukkan status sosial dibandingkan bahasa Melayu (Indonesia). Terbukti misalnya menjadi bahan perdebatan di Budi Utomo, apakah setiap pembicaraan formal dalam organisasi mesti menggunakan bahasa Belanda.
Kota besar di Indonesia kini sekolah-sekolah, baik negeri ataupun swasta, berlomba-lomba menjadi sekolah internasional yang menggunakan bahasa Inggris. Alasannya sederhana, anak-anak yang unggul sudah semestinya menguasai bahasa Inggris untuk dapat bersaing di kancah internasional. Mental berikutnya adalah kecenderungan pop culture anak muda, yang mengarah pada music rock, rap, hip metal, punk, menggunakan pakaian dengan merek internasionalisasi merek seperti Nike, Adidas dan lain sebagainya, makanan (Coca Cola), nongkrong di kafe, dan gaya hidup kebarat-baratan lainnya.
Pembongkaran bagaimana bekerjanya imperialisme Barat (Eropa dan Amerika) terhadap dunia Islam, Timur Tengah dan Timur hingga kini misalnya, oleh Edward Said menjadi bukti akan hal ini. Karya besarnya Orientalisme menunjukkan bagaimana ia men-dekonstruksi perilaku kultural dan epistemologis Barat yang ingin terus menguasai Timur. Kerja keras Said terutama karena upayanya membongkar muatan idiologis di balik konsep Timur atau Orient yang direproduksi oleh Barat.
Menurut Said, “Timur” yang primitif dipakai sebagai cermin untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Selain itu, mitos dan stereotipe tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa untuk melakukan kolonialisasi: menguasai, menjinakkan, dan mengontrol keberadaan the others. Upaya pelanjangan politik jahat orientalisme yang dilakukan Said merangsang kesadaran baru bagi negara-negara berkembang untuk bangkit melawan. Sejak tahun 80-an para intelektual terlibat dalam diskusi intensif mempertimbangkan gagasan Said yang mengkritik bekerjanya kolonialisme modern.
Study poskolonial dimaknai sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan kolonialisme. Pada masa ini era globalisasi harus diakui telah membawa pengaruh luar biasa terhadap perkembangan teknologi, tak terkecuali bagi industri komunikasi modern. Dampak-dampak itu adalah subversi kebudayaan dan ideologi Barat. Dampak nyata globalisasi media adalah sistem kepemilikan global yang menjadi tren industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat lebih rendah dalam hal ini nasional dan lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada masalah sosial politik saja tetapi masuk dalam nilai-nilai budaya masyarakat.
Orientalisme menggabungkan kekuasaan dengan pembentukan ilmu pengetahuan kolonial. Oleh karena kolonialisme adalah pemaksaan kekuasaan secara penuh terhadap tanah jajahan, maka orientalisme melibatkan satu program pembentukan cara pikir yang bukan saja untuk kepentingan kolonial tetapi juga dapat melahirkan ilmu kolonial. Budaya masyarakat jajahan dirancang sedemikian rupa supaya sesuai dengan keinginan penguasa kolonial. Budaya masyarakat di tanah jajahan itu mengikuti skema terori evolusi, dimana budaya masyarakat yang satu dengan yang lainnya dibangun menurut kelas evolusi. Dalam konteks ini budaya nusantara yaitu sebuah entitas yang sangat kecil dilihat sebagai penyerap unsur-unsur budaya yang lebih tinggi dan besar. Dalam hal ini masyarakat sekarang ini adalah bentuk dari penanaman alam pikir kolonial barat, dan lupa akan identitasnya sendiri sebagai masyarakat nusantara.
Dafrat Referensi
Ashcroft, Bill dan Pall Ahluwaliya. 2001. Edward Said. Taylor & Francis e-Library dalam www.literature.routledge.com.
Sarup, Madhan. 2004. “Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis”. Yogyakarta: Jendela. hal 85-86 dalam www.nasirsiregar.com Nalar dan Praktek Post-kolonial di Indonesia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. “Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,. Hal. 27 dalam www.carabaca.blogspot.com Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan.
Edward Said 1979. Orientalisme New YorkVintage Books
[1] Bill Ashcroft dan Pal Ahluwalia. 2001.hal 12
[2] Said, Edward. 1979. Orientalism. New York : Vintage Books dalam www.edelmensch.blogspot.com diakses 2 Juli 2010
[3] Nyoman Kutha Ratna. 2008. Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta :Pustaka Pelajar,. Hal. 27dalam “Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan”